TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari meminta penyelenggara pemilu
di Hongkong melakukan pencoblosan ulang. Insiden di Hongkong, menurut Eva,
seharusnya tidak perlu terjadi jika panitia setempat memiliki perencanaan yang
tepat. "Pemilih tidak salah sehingga tidak bisa mencoblos. Partisipasi
pemilih yang tinggi tidak difasilitasi penyelenggara pemilihan," kata Eva
kepada Tempo, Senin,
7 Juli 2014.
Insiden Hongkong, ujar Eva, perlu diberikan perhatian serius oleh penyelenggara pemilihan presiden 2014. Tindakan tersebut untuk menghindari dugaan sisa surat suara akan dimanfaatkan untuk berbuat curang. "Hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi di Indonesia pada 9 Juli 2014 nantinya," ujar tim kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla itu. (Baca:Kisruh di Hong Kong, Ini Hasil Penyelidikan Bawaslu
Sebanyak 500 warga negara Indonesia di Hongkong berunjuk rasa lantaran tak dapat mengikuti pemilihan presiden yang digelar pada Ahad, 6 Juli 2014. Arista Devi, peserta unjuk rasa, mengatakan dia dan sejumlah warga negara Indonesia lainnya tak dapat menggunakan hak pilihnya. "Bukan hanya beberapa orang, tapi jumlah yang terdaftar mencapai ribuan," kata Arista ketika dihubungi Tempo, Senin, 7 Juli 2014. (Baca:Telat, WNI di Hongkong Tak Bisa Gunakan Hak Pilih)
Insiden Hongkong, ucap Eva, dapat menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Apalagi kehadiran dari anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hongkong tidak menyelesaikan masalah pada saat pemungutan suara. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan dari para pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. "Kami meminta pengawas pemilu di Hongkong agar petugas pemungutan suara digantikan dengan yang lain pada saat penghitungan suara 9 Juli 2014 nantinya," ujar Eva.
Insiden Hongkong, ujar Eva, perlu diberikan perhatian serius oleh penyelenggara pemilihan presiden 2014. Tindakan tersebut untuk menghindari dugaan sisa surat suara akan dimanfaatkan untuk berbuat curang. "Hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi di Indonesia pada 9 Juli 2014 nantinya," ujar tim kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla itu. (Baca:Kisruh di Hong Kong, Ini Hasil Penyelidikan Bawaslu
Sebanyak 500 warga negara Indonesia di Hongkong berunjuk rasa lantaran tak dapat mengikuti pemilihan presiden yang digelar pada Ahad, 6 Juli 2014. Arista Devi, peserta unjuk rasa, mengatakan dia dan sejumlah warga negara Indonesia lainnya tak dapat menggunakan hak pilihnya. "Bukan hanya beberapa orang, tapi jumlah yang terdaftar mencapai ribuan," kata Arista ketika dihubungi Tempo, Senin, 7 Juli 2014. (Baca:Telat, WNI di Hongkong Tak Bisa Gunakan Hak Pilih)
Insiden Hongkong, ucap Eva, dapat menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Apalagi kehadiran dari anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hongkong tidak menyelesaikan masalah pada saat pemungutan suara. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan dari para pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. "Kami meminta pengawas pemilu di Hongkong agar petugas pemungutan suara digantikan dengan yang lain pada saat penghitungan suara 9 Juli 2014 nantinya," ujar Eva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar